Industri apa pun yang berbasis teknologi digital memang akan sangat rentan dijadikan sarana pencucian uang bilamana fungsi kontrol pemerintah tak berjalan dengan baik.
Khusus fintech P2P lending, pengaturan spesifiknya dalam kaitannya dengan regulasi anti pencucian uang merujuk pada POJK No. 12 Tahun 2017. Hanya saja, atas alasan penyesuaian waktu, POJK tersebut baru mulai berlaku pada tahun 2021 mendatang.
Merujuk Pasal 1 POJK a quo, industri fintech yang merupakan penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi dikategorikan sebagai Penyelenggara Jasa Keuangan (PJK) di sektor industri keuangan non bank. Konsekuensinya, fintech (PJK) wajib mengidentifikasi, menilai dan memahami risiko TPPU dan/atau TPPT terkait nasabah, negara atau area geografis, produk, jasa, transaksi atau jaringan distribusi.
PJK juga diwajibkan memiliki kebijakan dan prosedur internal tertentu untuk mengelola dan memitigasi risiko TPPU/ TPPT. Paling kurang, kebijakan dan prosedur penerapannya harus meliputi beberapa tindakan, yakni:
a. Identifikasi dan verifikasi Nasabah, b. Identifikasi dan verifikasi Beneficial Owner, c. Penutupan hubungan usaha dan penolakan transaksi, d. Pengelolaan risiko Pencucian Uang dan/ atau Pendanaan Terorisme yang berkelanjutan terkait dengan Nasabah, negara, produk dan jasa serta jaringan distribusi (delivery channel), e. Pemeliharaan data yang akurat terkait dengan transaksi, penatausahaan proses CDD, dan penatausahaan kebijakan dan prosedur, f. Pengkinian dan pemantauan, g. Pelaporan kepada pejabat senior, Direksi dan Dewan Komisaris terkait pelaksanaan kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT, dan h. Pelaporan PPATK.
Gambaran sanksi bagi Fintech Company terkait pelaporan APU PPT tercantum pada POJK 12 APU PPT BAB XI SANKSI Pasal 65
(1) PJK yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dan Pasal 63 dikenakan sanksi administratif berupa denda yaitu kewajiban membayar sejumlah uang dengan rincian sebagai berikut: a. sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari keterlambatan per laporan dan paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) bagi PJK berupa bank umum, perusahaan efek, perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan pialang asuransi, DPLK, perusahaan pembiayaan infrastruktur, LPEI, perusahaan pergadaian dan manajer investasi; atau b. sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari keterlambatan per laporan dan paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) bagi PJK berupa BPR, BPRS, perusahaan pembiayaan, dan PMV.
Pasal 66
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan OJK ini selain pelanggaran atas keterlambatan penyampaian laporan, dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan atau teguran tertulis; b. denda dalam bentuk kewajiban membayar sejumlah uang; c. penurunan dalam penilaian tingkat kesehatan; d. pembatasan kegiatan usaha tertentu; e. pembekuan kegiatan usaha tertentu; f. pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai rapat umum pemegang saham atau rapat anggota koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan OJK; dan/atau g. pencantuman anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris, pegawai PJK, pemegang saham dalam daftar orang tercela di sektor jasa keuangan.
Namun seperti kita ketahui bersama, di Indonesia ini masih banyak sekali beredar Fintech-fintech Ilegal. Semoga dengan adanya aturan ini dapat menyortir perusahaan-perusahan fintech legal di Indonesia.
Bagi kamu-kamu yang bekerja sebagai C-Level or Compliance/ Legal di Fintech Company, boleh share apakah perusahaan kamu sudah menerapkan kebijakan ini? Let’s share..
Sumber & Lampiran POJK:
https:// https://www.ojk.go.id/id/regulasi/otoritas-jasa-keuangan/peraturan-ojk/Documents/Pages/POJK-Nomor-12-POJK.01-2017-/SAL%20POJK%2012%20-%20APU%20PPT.pdf https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c9c73ce3720d/meraba-potensi-tppu-di-industri-fintech/